MITOS

"Laki-Laki Tidak Mungkin Menjadi Korban".

Di tahun 2018, kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi pada anak laki-laki, sebanyak 122 kasus. Kasus Gilang 'jarik' dan WNA Prancis di tahun 2020 menunjukkan bahwa laki-laki dapat menjadi pelaku sekaligus korban dalam kasus kekerasan seksual.

"Kekerasan Berbasis Gender Tidak Mungkin Bisa terjadi Secara Daring".

Sepanjang pandemi dan per Oktober 2020, Komnas Perempuan menerima 1.617 aduan kasus kekerasan. Sejumlah 1.458 di antaranya merupakan kekerasan berbasis gender (KBG) dan paling banyak terjadi di kalangan sivitas akademika perguruan tinggi. Sejumlah 659 kasus di antaranya terjadi secara daring atau yang dikenal sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO).

"Pelaku Adalah Korban Dari Kekerasan Yang Dilaporkan".

Korban yang utama adalah korban kekerasan seksual itu sendiri. Korban tidak langsung atau extended victim adalah institusi, organisasi, jaringan, atau lingkungan di mana pelaku berada. Melalui perbuatannya, pelaku KS melukai kepercayaan publik padanya dan pada keamanan setempat. Hal yang dialami pelaku karena laporan KS, misalnya hukuman pidana dan sanksi sosial, sepenuhnnya merupakan konsekuensi logis atas tindakan kekerasan yang dilakukannya.

"Masa Depan Pelaku Hancur Karena Laporan Korban Yang Membuka Aib".

Masa depan dan 'nama baik' pelaku, hancur karena kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku sendiri. Menceritakan atau melaporkan kejadian kekerasan seksual penting untuk mengidentifikasi pelaku dan mengurangi efek trauma pada korban.

FAKTA

"Kekerasan Seksual Bisa Dilakukan Oleh Orang Yang Kita Kenal"

Inses atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga menempati peringkat ketiga dalam pemetaan jenis kekerasan seksual yang paling sering terjadi di ranah privat, setelah KDRT dan kekerasan dalam pacaran (KDP). Pada 2018, kasus inses mencapai angka 1.087 dengan pelaku didominasi oleh ayah kandung dan paman.


Sumber : Buku Panduan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi